Definisi Penyakit
Cutaneus Larva Migran merupakan suatu lesi kulit yang dihasilkan oleh penetrasi dan migrsi larva dari parasit nematoda, dengan karakteristik lesi kulit eritema, serpiginosa, papular, ataupun linear vesicular sesuai dengan pergerakan larva didalam kulit.
Jenis nematoda yang lazim menyebabkan CLM ini ada Ancylostoma Braziliense (paling sering), A caninum, Uncinaria Stenocephala (Cacing tambang pada anjing Eropa), Bunostomum Phlebotomum (Cacing Tambang pada binatang ternak)
Telur dari cacing tambang tersebut banyak terdapat pada pasir atau tanah pada tempat yang rindang dan hangat. Telur tersebut pada waktunya akan menetas dan menjadi larva yang dapat melakukan penetrasi pada kulit manusia. Beberapa aktivitas yang beresiko terkena penyakit ini diataranya adalah kontak dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi feses binatang seperti bermain di pasir, berjalan tanpa alas kaki, duduk di pantai, tukang kebun, petani, dll.
Invasi cacing ini sering terjadi pada anak – anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau sering berhubungan dengan tanah atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama.
Penyakit ini sering terdapat pada daerah tropis atau subtropisyang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyak dijumpai.
Cacing Tambang (Hookworm) merupakan nematoda (Round worm) parasit yang tinggal pada usus halus pada inang nya, yaitu biasanya mamalia , seperti kucing, anjing ataupun manusia. Terdapat dua spesies yang menginfeksi manusia, yaitu ancylostoma duodenale, dan necator americanus. Namun kedua cacing ini tidak menimbulkan manifestasi pada kulit manusia. Banyak cacing tambang dapat menginvasi dan menjadi parasit pada manusia (A. Ceylanicum) atau melakukan penetrasi pada kulit manusia (menyebabkan cutaneous larva migran) namun tidak berkembang menjadi klinis yang lain karena manusia bukanlah inang definitif nya, seperti A braziliense, A. Caninum (pada kucing atau anjing) , Uncinaria stenocephala. Kadang-kadang larva A caninum dapat menginvasi usus manusia, dan menyebabkan klinis eosinophilic enteritis. A caninum juga dapat menyebabkan klinis diffuse unilateral subacute neuroretinitis.
Cutaneus Larva Migran (atau dikenal juga creeping eruption) merupakan infeksi zoonotic dengan spesies cacing tambang sebagai agen infeksi, terutama yang paling sering adalah A. Braziliense dan A. Caninum. Spesies ini tidak menggunakan manusia sebagai inang definitif nya. Inang definitif dari spesies cacing ini adalah Anjing dan kucing. Namun sikus hidup pada manusia hampir mirip dengan inang definitif nya.
Siklus hidup dimulai dari telur cacing yang keluar bersama feses hewan. Dalam kondisi yang sesuai, yaitu kelembaban dan kehangatan yang sesuai, telur akan menetas dalam 1 – 2hari. Larva rhabditiform pun keluar dari telur dan hidup dalam feses dan / atau tanah. Setelah 5 sampai 10 hari, larva rhabditiform berubah menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform ini dapat bertahan selam 3-4 minggu dalam kondisi lingkungan yang sesuai. Pada saat kontak dengan inang definitif (hewan), larva ini melakukan penetrasi pada kulit dan masuk ke pembuluh darah dan dibawa ke jantung dan paru – paru. Kemudain larva melakukan penetrasi pada alveoli paru dan kemudian naik menuju ke trachea bronchial tree dan kemudian tertelan dan masuk sistem pencernaan. Kemudian larva akan mencapai usus halus untuk diam dan menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus halus dan menempel pada dinding nya. Beberapa larva tinggal di jaringan dan bisa menjadi sumber infeksi untuk anak anjing via transmammaria dan transplacenta. Manusia juga dapat terinfeksi ketika larva filariformis melakukan penetrasi pada kulit manusia. Kebanyakan pasien larva tidak dapat menjadi dewasa pada inang manusia, dan hanya migrasi tanpa tujuan dalam epidermis kadang – kadang beberapa sentimeter dalam sehari. Beberapa larva kadang tetap berada pada jaringan lebih dalam (deep tissue) setelah melakukan migrasi kulit manusia.
Manusia merupakan Host cacing ini. Larva ini akan bertahan selama beberapa minggu pada tanah dan pasir. Larva tahap ketiga melakukan penetrasi pada kulit manusia dan migrasi diantara stratun germinativum dan spinosum beberapa sentimeter per hari. Larva ini akan menginduksi reaksi inflamasi eosinoflik. Beberapa larva tidak dapat berkembang, invasi ke jaringan yang lebih dalam, atau mati dalam beberapa minggu.
Klinis
- Rasa gatal dan panas pada daerah tempat larva melakukan penetrasi. Mula-mula akan timbul papul kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm da berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari.
- Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok – kelok, Polisiklik, serpiginosa,menimbul, dan berbentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.
- Lesi kulit : Serpiginosa, linear, berbentuk seperti terowongan, meninggi, eritema, dengan lebar terowongan 2-3 mm dan mengandung cairan serosa. Ada nya lesi kulit bergantung penetrasi dari larva. Larva melakukan penetrasi beberapa milimeter per hari. Dapat juga atipikal
- Distribusi : Tempat yang terekspos, Kebanyakan paling sering adalah kaki, tungkai bawah, pantat, anus dan tangan.
- Variant : Larva Currens -> disebabkan oleh S stercoralis. Lesi kulit nya berupa papul, urticarial, papulovesikel, pada tempat penetrasi larva. Berhubungan dengan pruritus yang terus menerus. Lesi kulit terdapat pada kulit anus, pantat, paha, punggung,bahu, dan perut. Pruritus hilang ketika larva masuk kedalam pembuluh darah dan menuju ke ntestinal mukosa.
- Temuan sistemik : Karakteristik dari adanya visceral larva migran adalah adanya hipereosinofilia yang persisten, hepatomegaly, dan Pneumonitis Loeffler syndrome). Disebabkan oleh Toxocara Canis, T. cati, A. Lumbricoides.
Diagnosis Banding
Lesi lesi inflamasi yang berbentuk curvilinear : Larva currens, migratory lesion from other parasites, Allergic contact dermatitis, Bullous impetigo, Epidermal Dermatophytosis, Scabies,
Pemeriksaan Penunjang:
- Hematologi : Eosinofilia perifer
- Dermatopathology :Bagian parasit dapat dilihat pada spesimen biops
Diagnosis : Dari temuan klinis
Penatalaksanaan :
- Prevensi :
- Mencegah kontak kulit secara langsung pada tanah yang terkontaminasi oleh feses.
- Sedapat mungkin, hindari anak-anak ndeprok (duduk) di pasir, tanah, rerumputan.
- Bila si anak sulit menghindari tempat tersebut, langkah terbaik adalah mencuci tangan-kaki dengan sabun atau sekalian dimandiin.
- Terapi simtomatis : topical glucocorticoid dengan adanya oklusi pada lesi
- Agen antihelminthic :
- Agen topical :
- Thiabendazole : Aplikasi topikal 10 – 15% tiabendazol ointment pada area yang terkena cukup efektif. Pada penelitian pada 53 pasien dari canada, 15% thiabendazol krim di aplikasikan pada area yang terkena 2 – 3 x sehari selama 5 hari, hanya satu yang tidak berhasil sembuh lengkap. Pada kebanyakan pasien gatal terasa berkurang, dan tidak terjadi migrasi dalam 48 jam terapi. Pada penelitian yang lebih besar (98 pasien jerman), Salep thiabendazole efektif dalam waktu 10 hari pada 96 kasus, sedangkan 2 kasus lain sukses dalam 2 minggu.
- Ivermectine
- Albedazole
- Systemic Agent:
- Thiabendazole : 50mg/kgBB per oral per hari dalam 2 dosis (maksimum 3g per hari) selama 2 – 5hari; juga efektif ketika diaplikasikan secara topikal dalam oklusi.
- Thiabendazole kurang efektif ketika diberikan dalam dosis tunggal. Dari penelitian, hanya 68% dari 28 pasien pada penelitian yang sembuh stelah diberikan dosis tunggal. Tingkat kesembuhan meningkat menjadi 77% ketika diberikan selama 2 hari, 87% setlah diberikan 3-4 hari dan 89 setelah diberikan selama 4 minggu. Namun Thiabendazole kurang dapat ditoleransi dibandingkan albendazole mupun ivermectine. Pada penelitian, pada pasien yang diberikan thiabendazol,terdapat beberapa efek samping antara lain Mual,muntah, sakit kepala.
- Ivermectine 6 mg 2x sehari
- Albendazole 400 mg per hari selama 3 hari (sangat efektif). Pada penelitian , tingkat kesembuhan terapi dengan albendazoles mencapai 100% setelah terapi albendazole dosis tunggal 400 mg dan dengan dosis yng sama selama 2 dan 5 hari.
- Cryosurgery
- Liquid nitrogen pada terowongan larva. Pada penelitian, Cryoterapi yang dilakukan pada 6 pasien tidak sukses dan menyebabkan kulit lepuh semakin parah serta muncul ulserasi apda 2 pasien. Pada penelitian lain, Dari 7 pasien yang diobati dengan menggunakan metode cryoterapi, tidak ada yang terobati. Oleh karena metode ini inefektif dan menimbulkan nyeri, maka metode ini di hindari.
Self limited; manusia merupakan “dead end” host. Kebanyakan larva mati dan lesi akan membaik dalam 2-8 minggu, bisa sampai 2 tahun namun jarang.