Pages - Menu

Pages

Rabu, 12 Februari 2014

Infeksi Cacing Kulit (Cutaneus Larva Migrans)

Definisi Penyakit

Cutaneus Larva Migran merupakan suatu lesi kulit yang dihasilkan oleh penetrasi dan migrsi larva dari parasit nematoda, dengan karakteristik lesi kulit eritema, serpiginosa, papular, ataupun linear vesicular sesuai dengan pergerakan larva didalam kulit.

Jenis nematoda yang lazim menyebabkan CLM ini ada Ancylostoma Braziliense (paling sering), A caninum, Uncinaria Stenocephala (Cacing tambang pada anjing Eropa), Bunostomum Phlebotomum (Cacing Tambang pada binatang ternak)

Telur dari cacing tambang tersebut banyak terdapat pada pasir atau tanah pada tempat yang rindang dan hangat. Telur tersebut pada waktunya akan menetas dan menjadi larva yang dapat melakukan penetrasi pada kulit manusia. Beberapa aktivitas yang beresiko terkena penyakit ini diataranya adalah kontak dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi feses binatang seperti bermain di pasir, berjalan tanpa alas kaki, duduk di pantai, tukang kebun, petani, dll.

Invasi cacing ini sering terjadi pada anak – anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau sering berhubungan dengan tanah atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama. 

Penyakit ini sering terdapat pada daerah tropis atau subtropisyang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyak dijumpai.

Biologi

Cacing Tambang (Hookworm) merupakan nematoda (Round worm) parasit yang tinggal pada usus halus pada inang nya, yaitu biasanya mamalia , seperti kucing, anjing ataupun manusia. Terdapat dua spesies yang menginfeksi manusia, yaitu ancylostoma duodenale, dan necator americanus. Namun kedua cacing ini tidak menimbulkan manifestasi pada kulit manusia. Banyak cacing tambang dapat menginvasi dan menjadi parasit pada manusia (A. Ceylanicum) atau melakukan penetrasi pada kulit manusia (menyebabkan cutaneous larva migran) namun tidak berkembang menjadi klinis yang lain karena manusia bukanlah inang definitif nya, seperti A braziliense, A. Caninum (pada kucing atau anjing) , Uncinaria stenocephala. Kadang-kadang larva A caninum dapat menginvasi usus manusia, dan menyebabkan klinis eosinophilic enteritis. A caninum juga dapat menyebabkan klinis diffuse unilateral subacute neuroretinitis.






Cutaneus Larva Migran (atau dikenal juga creeping eruption) merupakan infeksi zoonotic dengan spesies cacing tambang sebagai agen infeksi, terutama yang paling sering adalah A. Braziliense dan A. Caninum. Spesies ini tidak menggunakan manusia sebagai inang definitif nya. Inang definitif dari spesies cacing ini adalah Anjing dan kucing. Namun sikus hidup pada manusia hampir mirip dengan inang definitif nya. 

Siklus hidup dimulai dari telur cacing yang keluar bersama feses hewan. Dalam kondisi yang sesuai, yaitu kelembaban dan kehangatan yang sesuai, telur akan menetas dalam 1 – 2hari. Larva rhabditiform pun keluar dari telur dan hidup dalam feses dan / atau tanah. Setelah 5 sampai 10 hari, larva rhabditiform berubah menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform ini dapat bertahan selam 3-4 minggu dalam kondisi lingkungan yang sesuai. Pada saat kontak dengan inang definitif (hewan), larva ini melakukan penetrasi pada kulit dan masuk ke pembuluh darah dan dibawa ke jantung dan paru – paru. Kemudain larva melakukan penetrasi pada alveoli paru dan kemudian naik menuju ke trachea bronchial tree dan kemudian tertelan dan masuk sistem pencernaan. Kemudian larva akan mencapai usus halus untuk diam dan menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus halus dan menempel pada dinding nya. Beberapa larva tinggal di jaringan dan bisa menjadi sumber infeksi untuk anak anjing via transmammaria dan transplacenta. Manusia juga dapat terinfeksi ketika larva filariformis melakukan penetrasi pada kulit manusia. Kebanyakan pasien larva tidak dapat menjadi dewasa pada inang manusia, dan hanya migrasi tanpa tujuan dalam epidermis kadang – kadang beberapa sentimeter dalam sehari. Beberapa larva kadang tetap berada pada jaringan lebih dalam (deep tissue) setelah melakukan migrasi kulit manusia.

Patogenesis
Manusia merupakan Host cacing ini. Larva ini akan bertahan selama beberapa minggu pada tanah dan pasir. Larva tahap ketiga melakukan penetrasi pada kulit manusia dan migrasi diantara stratun germinativum dan spinosum beberapa sentimeter per hari. Larva ini akan menginduksi reaksi inflamasi eosinoflik. Beberapa larva tidak dapat berkembang, invasi ke jaringan yang lebih dalam, atau mati dalam beberapa minggu.

Klinis
  • Rasa gatal dan panas pada daerah tempat larva melakukan penetrasi. Mula-mula akan timbul papul kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm da berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. 
  • Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok – kelok, Polisiklik, serpiginosa,menimbul, dan berbentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. 
  • Lesi kulit : Serpiginosa, linear, berbentuk seperti terowongan, meninggi, eritema, dengan lebar terowongan 2-3 mm dan mengandung cairan serosa. Ada nya lesi kulit bergantung penetrasi dari larva. Larva melakukan penetrasi beberapa milimeter per hari. Dapat juga atipikal 
  • Distribusi : Tempat yang terekspos, Kebanyakan paling sering adalah kaki, tungkai bawah, pantat, anus dan tangan. 
  • Variant : Larva Currens -> disebabkan oleh S stercoralis. Lesi kulit nya berupa papul, urticarial, papulovesikel, pada tempat penetrasi larva. Berhubungan dengan pruritus yang terus menerus. Lesi kulit terdapat pada kulit anus, pantat, paha, punggung,bahu, dan perut. Pruritus hilang ketika larva masuk kedalam pembuluh darah dan menuju ke ntestinal mukosa. 
  • Temuan sistemik : Karakteristik dari adanya visceral larva migran adalah adanya hipereosinofilia yang persisten, hepatomegaly, dan Pneumonitis Loeffler syndrome). Disebabkan oleh Toxocara Canis, T. cati, A. Lumbricoides. 





Diagnosis Banding
Lesi lesi inflamasi yang berbentuk curvilinear : Larva currens, migratory lesion from other parasites, Allergic contact dermatitis, Bullous impetigo, Epidermal Dermatophytosis, Scabies,

Pemeriksaan Penunjang:
  • Hematologi : Eosinofilia perifer
  • Dermatopathology :Bagian parasit dapat dilihat pada spesimen biops

Diagnosis : Dari temuan klinis

Penatalaksanaan :
  • Prevensi : 
    • Mencegah kontak kulit secara langsung pada tanah yang terkontaminasi oleh feses.
    • Sedapat mungkin, hindari anak-anak ndeprok (duduk) di pasir, tanah, rerumputan.
    • Bila si anak sulit menghindari tempat tersebut, langkah terbaik adalah mencuci tangan-kaki dengan sabun atau sekalian dimandiin.
  • Terapi simtomatis : topical glucocorticoid dengan adanya oklusi pada lesi
  • Agen antihelminthic :
    • Agen topical : 
      •  Thiabendazole : Aplikasi topikal 10 – 15% tiabendazol ointment pada area yang terkena cukup efektif. Pada penelitian pada 53 pasien dari canada, 15% thiabendazol krim di aplikasikan pada area yang terkena 2 – 3 x sehari selama 5 hari, hanya satu yang tidak berhasil sembuh lengkap. Pada kebanyakan pasien gatal terasa berkurang, dan tidak terjadi migrasi dalam 48 jam terapi. Pada penelitian yang lebih besar (98 pasien jerman), Salep thiabendazole efektif dalam waktu 10 hari pada 96 kasus, sedangkan 2 kasus lain sukses dalam 2 minggu. 
      • Ivermectine
      • Albedazole
  • Systemic Agent:
    • Thiabendazole : 50mg/kgBB per oral per hari dalam 2 dosis (maksimum 3g per hari) selama 2 – 5hari; juga efektif ketika diaplikasikan secara topikal dalam oklusi.
    • Thiabendazole kurang efektif ketika diberikan dalam dosis tunggal. Dari penelitian, hanya 68% dari 28 pasien pada penelitian yang sembuh stelah diberikan dosis tunggal. Tingkat kesembuhan meningkat menjadi 77% ketika diberikan selama 2 hari, 87% setlah diberikan 3-4 hari dan 89 setelah diberikan selama 4 minggu. Namun Thiabendazole kurang dapat ditoleransi dibandingkan albendazole mupun ivermectine. Pada penelitian, pada pasien yang diberikan thiabendazol,terdapat beberapa efek samping antara lain Mual,muntah, sakit kepala.
    • Ivermectine 6 mg 2x sehari 
    • Albendazole 400 mg per hari selama 3 hari (sangat efektif). Pada penelitian , tingkat kesembuhan terapi dengan albendazoles mencapai 100% setelah terapi albendazole dosis tunggal 400 mg dan dengan dosis yng sama selama 2 dan 5 hari.
  • Cryosurgery
    • Liquid nitrogen pada terowongan larva. Pada penelitian, Cryoterapi yang dilakukan pada 6 pasien tidak sukses dan menyebabkan kulit lepuh semakin parah serta muncul ulserasi apda 2 pasien. Pada penelitian lain, Dari 7 pasien yang diobati dengan menggunakan metode cryoterapi, tidak ada yang terobati. Oleh karena metode ini inefektif dan menimbulkan nyeri, maka metode ini di hindari.
Prognosis :
Self limited; manusia merupakan “dead end” host. Kebanyakan larva mati dan lesi akan membaik dalam 2-8 minggu, bisa sampai 2 tahun namun jarang.

Minggu, 09 Februari 2014

Penatalaksanaan Nyeri Akut ( Acute Pain Management)

Nyeri merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang subjektif yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau kecenderungan untuk akan terjadinya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri dapat digolongkan menjadi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
  • Nyeri akut merupakan nyeri yang menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception) biasanya terjadi kurang dari 1 bulan
  • Nyeri Kronis nyeri yang tanpa terjadi kerusakan jaringan yang nyata (Pain without nociception) yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama, biasanya terjadi lebih dari 3 bulan

Nyeri selain menimbulkan suatu penderitaan, nyeri juga memberikan keuntungan bagi tubuh, meliputi fungsi proteksi, defensif dan penunjang diagnosis
  • Fungsi proteksi  -> sensible nyeri dapat menyebabkan seseorang mengalami nyeri untuk bereaks terhadap trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan
  • Fungsi Defensif -> memungkinkan penderita mengalami imobilisasi organ tubuh mengalami inflasi atau patah sehingga sensible yang dirasakan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
  • Penuntun diagnosis -> misalnya nyeri kontraksi uterus, nyeri pada appendicitis.

Pada penderita nyeri yang kronis misalnya pada kangker stadium lanjut nyeri yang dirasakan tidak lagi berperan dalam mekanisme proteksi, defensif, dan penuntun diagnosis

Mekanisme nyeri




Mekanisme nyeri terdiri dari 4 proses elektro fisiologi nociseptif. 4 proses tersebut meliputi Transduksi, Transmisi, Modulasi, Persepsi
  1. Transduksi -> proses perubahan stimulus menjadi impuls saraf. Stimulus nyeri akan di terima oleh nociceptor pada ujung saraf bebas A delta dan C kemudian mengalami perubahan atau diterjemahkan menjadi aktivitas fisik pada impuls saraf.
  2. Transmisi -> proses penyaluran impuls sarah melalui serabut saraf sensoris menuju ke medulla spinalis. Impuls tersebut dibaea oleh serabut saraf A delta dan C.
  3. Modulasi -> Proses interaksi antara analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke dalam kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi enkafalis, endorphin, serotonin, norepinefrin. Dengan demikian kornu posterior seperti sebuah gerbang yang dapat tertutup atau terbuka yang dipengaruhi oleh sistem analgesik endogen tersebut.
  4. Persepsi -> Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik mulai dari proses tansduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Respon Tubuh Terhadap Nyeri 

Respon tubuh terhadap nyeri berupa terjadinya respon hormonal melalui mobilisasi hormon - hormon katabolisme dan reaksi imunologis yang secara umum disebut respoon stress. Respon nyeri amatlah merugikan tubuh karena dapat menurunkan cadangan makanan, daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, mengganggu fungsi respirasi, dan segala konsekuensi dari gangguan tersebut, dan pada akhirnya dapat menyebabkan tromboemboli dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas.

- Respon Endokrin
Adanya rangsangan nociseptif atau nyeri dapat menyebabkan reaksi hormonal bifasik, yaitu terjadi peningkatan pelepasan hormon - hormon katabolisme, meliputi kotekolamin, kortisol, Angiotensin II, ADH, ACTH, GH, dan glukagon disertai adanya penekanan atau penurunan dari sekresi hormon yang bersifat anabolik, seperti insulin. Dampak dari respon hormonal tersebut menyebabkan terjadinya hiperglikemia akibat resistensi inulin disertai dengan adanya glukoneogenesis melalui pemecahan protein dan lipolisis.Aldosteron, Kortisol , dan ADH akan menyebabkan retensi natrium dan air. Kotekolamin akan merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.

- Efek Nyeri Terhadap Sistem Kardiovaskular Dan Respirasi
Pelepasan kotekolamin, aldosterone, kortisol, ADH, dan aktivasi angiotensin II aka menimbulkan efek pada kardiovaskular. Efek tersebut terjadi pada miokardium, pembuluh darah dan regulasi Natrium dan air didaam tubuh. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi. Kotekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontaktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifer yang menimbulkan hipertensi. Takikardia dan disritmia dapat menimbulkan iskemiamyokardium. Adanya retensi Na dan air  juga menimbulkan resiko gagal jantung kongesti.
Bertambahnya cairan ekstraseluler di paru menimbukan kelainan ventilasi perfusi. Nyeri didaerah dada atau abdomen akan menimbulkan peningkatan  tonus otot didaerah tersebutsehingga menimbulkan resiko hipoventilasi, kesulitan bernafas dlam dan mengeluarkan sputum, sehingga penderita mudah mengalami penyulit atelectasis dan hipoksemia.

-Efek Nyeri Terhadap Sistem Organ Lain
Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap fungsi imunlogik, nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis, dan depresi RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen menurun. Kemudian terhadap fungsi koagulasi, nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah dan fungsi platelet. Terjadinya peningkatan adesivitas trombosit. Ditambah dengan efek kotekolamin yang menimbulkan vasokonstriksi dan imobilisasi akibat nyeri maka akan mudah terjadi komplikasi trombosis.

-Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan
Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan / minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan saat ini mengganggu kehidupan normal penderita sehari – hari.


Penilaian Nyeri
Nyeri secara kualitatif dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat.
  1. Nyeri ringan merupakan Nyeri yang hilang timbul terutama ketika melakukan aktivitas sehari –hari dan hilang ketika istirahat atau pada waktu tidur
  2. Nyeri Sedang merupakan Nyeri yang terus menerus, mengganggu aktivitas dan hilang terutama saat penderita tidur.
  3. Nyeri Berat merupakan nyeri yang berlangsung terus menerus , mengganggu aktivitas, dan tidur pasien. Nyeri tidak hilang ketika tidur, bahkan pasien terjaga sewaktu tidur akibat nyerinya.


Terdapat cara lain untuk menentukan derajat nyeri, diantaranya numeric pain scale dan visual anolog scale (VAS)

Numeric Pain Scale / Numeric Rating Scale (NRS)
merupakan penilaian nyeri secara semi kuantitatif dengan menggunakan penggaris yang diberi angka pada sekala 0 yang berartitidak nyeri 10 untuk nyeri yang sangat maksimal. 



  • 0 = Tidak nyeri
  • 1 s/d 3 = nyeri ringan
  • 4 s/d 6 = nyeri sedang
  • 7 s/d 10= nyeri berat
Visual Analog Scale merupakan suatu intrumen penilaian nyeri berdasarkan karakteristik dan tingkah laku psien yang mengalami nyeri.



Penggolongan Nyeri

Nyeri dapat digolongkan dengan berbagai cara, diantaranya

  • Menurut jenisnya : Nyeri nociceptif, Nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik
    • Nyeri Nociceptif -> Nyeri yang berasal dari aktivasi nociceptor. Nyeri nociceptif digolongkanjadi 2, meliputi nyeri somatik dan visceral.
      • Nyeri Somatik ->Nyeri nya tajam, terlokalisasi dengan baik, nyeri muncul konstan
      • Nyeri visceral ->crampy, konstan tidak terlokalisasi dengan baik, dan biasanya nyeri mengalami rujukan (Referred pain)




    • Nyeri Neurogenik -> Nyeri yang terjadi akibat dari suatu lesi atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensory
    • Nyeri Psikogenik -> Nyeri yang disebabkan karena respon atau fungsi yang abnormal dari sistem saraf tanpa defisit neurologis ataupun abnormalitas perifer.
  • Menurut timbulnya nyeri : Nyeri akut dan nyeri kronik
  • Menurut Penyebabnya : Nyeri onkologik dan non okologik
  • Menurut Derajat Nyerinya : Nyeri ringan, sedang atau berat

Manajemen Nyeri 

Beberpa hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan nyeri adalah

  1. Jangan memberikan obat apapun sebelum benar - benar dibutuhkan
  2. Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat
  3. Memakai modalitas pengobatan dengan benar
  4. Harus konsisten, tidak bolah berubah - bah atau terputus
  5. Usahakan per oral
  6. Pada nyeri kronis, ikuti # stepladder analgesic WHO
  7. TEntukan jenis obat dan dosis secara individual
  8. Cermati dengan seksama perubahan keadaan penderita
- WHO 3-step analgesic ladder



  1. Pada mulanya langkah pertama hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat
  2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkanobat opioid lemah misalnya kodein
  3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka sebagai langkah ke tiga disarankan menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Namun penatalaksanaan nyeri WHO 3 step analgesic Ladder berdasarkan derajat nyeri
  • Step 1 -> untuk nyeri ringan (1-3). Terapi pada step ini menggunakan obat pilihan non - opioid, meliputi paracetamo, NSAID, +- adjuvant (Tricyclic antidepressant atau anticonvulsant therapy)
  • Step 2 -> untuk nyeri sedang ( 4-6). Terapi pada step ini menggunakan kombinasi opioid potensi ringan atau sedang dengan analgesik non opioid +- adjuvant
  • Step 3 -> untuk nyeri Berat (7-10) . Terapi ini menggunakan opioid kuat +- non opioid +- adjuvant

Analgesic Drugs





A. Paracetamol
B. NSAID
  • Aspirin
  • Natrium Diclofenac
  • Kalium Diclofenac
  • Ketorolac
  • Ibuprofen
  • Piroxicam
  • Meloxicam
  • Metampiron
  • Celecoxib
C. Tramadol
D. Opioid
  • Low Efficacy
    • Codein
    • Dihidrocodein
  • Moderate Efficact
    • Bupranorphine
    • Meptazinol
  • High efficacy
    • Morphine
    • Petidine
    • Fentanyl





Jumat, 07 Februari 2014

Agen Anestesia Intravena (Intravenous Anesthetic Agent)

Anestesi umum (General Anesthesi) dapat dihasilkan oleh beberapa obat yang berperan menekan / mendepresi otak , meliputi agen sedativa, transquillizer, dan hipnotika. Namun dari semua obat itu, dengan dosis tertentu dapat juga mendepresi organ vital, yaitu jantung dan paru - paru. Sehingga hanya obat - obat tertentu yang biasa digunakan sebagai agen anestesi umum.

Agen anestesi intravena lebih sering digunakan untuk menginduksi anestesi karena keunggulannya lebih halus dan lebih cepat dibandingkan agen anestesi inhalasi. Agen anestesi intravena juga dapat digunakan sebagai rumatan (Maintanance) baik dih=gunakan sendiri maupun digunakan dengan kombinasi nitrous Oxide (NO). Agen anesthesi juga dapat digunakan sebagai agen sedatif pada anestesi regional, atau pun pada status epileptikus.

Obat - obat anestesi intravena merupakan obat anestesia yang diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berfungsi sebagai hipnotik, anagetik, maupun pelumpuh otot. Agen anestesi intravena yang ideal adalah mampu mencapai tujuan yaitu mampu menginduksi anestesi (meliputi amnesia, kehilangan kesadaran, imobilitas, anelgesia dan hilangnya refleks autonom) tanpa menyebabkan efek samping yang signifikan. Namun sangat jarang agen anestesi yang mampu menjadi agen anestesi ideal tersebut. BEberapa karakteristik agen anestesi dianggap ideal meliputi
  1. Onset cepat -> obat yang memiliki onset cepat harus tidak mengalami ionisasi pada pH darah dan larut lemak, sehingga mampu menmbus sawar sarah otak (Blood brain barrier)
  2. Recoveri cepat -> dipengarhi oleh bagaimana obat tersebut mampu mengalami redistribusi dari otak menuju ke jaringan yang meiliki perfusi baik, seperti otot. Selain itu juga kelarutan plasma dari organ tersebut juga cepat menurun, obat tersebut mampu terdifusi keluar dari otak melalu gradien konsentrasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh laju metabolisme dari obat tersebut. Obat yang mengalami metabolisme yang lambat akan mengalami efek 'hangover' yang lebih lama dan obat tersebut juga akan mengalami akumulasi ketika dilakukan pemberian obat tersebut atau pada saat rumatan.
  3. Metabolisme cepat menjadi metabolit yang inaktif
  4. Mampu meberikan efek anelgesia pada konsentrasi subanesthetic
  5. depresi kardiovaskular dan respirasi yang minimal
  6. Tidak menimbulkan efek sampin neurologis, seperti kejang, myoclonus, neurotoksisitas
  7. Tidak ada efek muntah
  8. tidak ada efek eksitatori pada saat induksi, seperti batuk, cegukan, atau gerakan involunter)
  9. Tidak ada efek emergence (Nightmare)
  10. Tidak menimbulkan nyeri
  11. Tida ada interaksi dengan obat yang memblok neuromuscular
  12. Tidak sekuele vena
  13. Aman jika diinjeksi melalui arteri
  14. tidak ada reaksi hipersensitivitas
  15. Tidak menimbulkan pelepasan histamin
  16. Tidak menimbulkan efek toksik pada organ lain
  17. Shelf time nya panjang
  18. Tidak menimbulkan porfiria
  19. larut air
  20. Formulasi stabil, non pirogenik
  21. Hanya dibutuhkan volume kecil untuk induksi
  22. Tidak mahal
  23. Antimikrobial properti
Pada praktek anestesia yang dimaksud obat - obat anestesia adalah sebagai berikut :
  1. Thiopentone/thiopental/pentothal
  2. Methoheksital
  3. Althesin
  4. Propanidid
  5. Gama Hidroksi butirit
  6. Ketamin hidroklorida
  7. Etomidan dan hipnomidat
  8. Dehidrobenzperidol
  9. Diazepam (derivat benzodizepine)
  10. Analgetik narkotik
  11. Midazolam (derivat benzodiazeine)
  12. Di-Iso-propil fenol atau propofol atau diprivan
Namun dalam praktiknya obat - obatan tersebut tidak digunakan lagi karena berbagai alasan, salah satunya adalah sulitnya ditemukan di Indonesia sehingga tidak pernah dikenal dalam praktik di Indonesia. Beberapa obat anestesia yang sudah ada di pasaran indonesia adalah
  1. Thiopentone
  2. Diazepam
  3. Dihidrobenzperidol
  4. Fentanyl
  5. Ketamine hidroklorida
  6. Midazolam
  7. Di isopropil fenol / propofol / diprivan
Pada pembahasan kali ini akan dibahas mengenai thiopentone, ketamin hidroklorida, propofol, dan fentanil, karena obat - obatan ini sangat populer di Indonesia.



  • THIOPENTONE

Obat ini merupakan obat anestesi yang tua. Obat ini merupakan obat jenis barbiturat. Obat anesthesi ini merupakan derivat dari barbiturat. Barbiturat dulu sudah digunaan sebagai agen anestesi, seperti amobarbital dan paentobarbital i.v. Namun aksi dari kedua obat itu tidak dapat diprediksi dan dan recoveri nya yang panjang.

A. Sifat –sifat fisik dan kimiawi
Berupa bubuk yang berwarna putih kekuningan, higroskopis, rasa pahit, berbau seperti bawang putih, selalu dicampur dengan sodium karbonat anhidrase mudah larut dalam air. Dikemas dalam bentuk bubuk mengandung 0,5 – 1 gram. Sebelum digunakan dilarutkan terlebih dahulu kedalam akuades hingga konsentrasi 2,5 – 5,0%. Larutan ii bersifat alkalis dengan pH 10,8.


B. Efek Farmakologi
Efek terhadap sistem saraf pusat
Obat ini berdifusi kedalam otak dengan cepat sehingga menimbulkan efek dalam waktu yang singkat 30 detik. Oleh karena itu obat ini populer dengan “Ultra Short Acting Barbiturate”.  Derajat deperesi obat ini bergantung pada dosisnya. Makin tingi dosis yang diberikan, makin tinggi derjat depresinya. Namun obat ini tidak memiliki efek anegesia. Pada dosis yang rendah obat inidapat meningkatkan sensitivitas nyeri, sehingga pasien akan mengalami hiperalgesia. Efek ini disebut antalgesia.

Efek terhadap sistem respirasi
Pada pemberian intravena yang cepat dapat menimbulkan efek depresi nafas. Derajat depresi nafas bergantung pada kecepatan dan dosis obat yang diberikan. Obat ini juga dapat memberikan efek spasme bronkus diakibatkan oleh pengaruhnya mempengaruhi tonis vagal.

Efek terhadap sistem kardiovaskuler
Efek  yang timbul adalh penurunan tekanan darah akibat vosdilatsi pembuluh darah dan efek depresi pada otot jantung sehingga curah jantung turun. Iritabilitas jantung tidak berpengaruh namun bisa menimbulkan disritmia jika terdapat retensi CO2 atau hipoksia.
Pemberian yang cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi berat karena vasodilatasi berat akbiat terdepresi nya pusat vasomotor dan depresi pada miokard

Efek terhadap otot rangka
Pada dosis yang lazim, obat ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tonus ototrangka dan terus ibu yang hamil. Apabila dosis yang diberikan tinggi, bisa terjadi penurunan tonus dan bisa melewati barier uteroplasenta

Terhadap metabolisme
Menurunkan laju metabolisme sehingga konsumsi oksigen akan berkurang sesuai dalam nya anestesi.


C. Nasib thiopentone dalam tubuh
Pada pemberian intravena segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Tiopenton akan diikat oleh protein plasma. Pada keadaan pasien yang mengalami hipoproteinemia (misalnya karena malnutrisi), maka semakin bayak tiopenton yang bebeas didalam plasma dan akan meningkatkan efek obat tersebut. Tiopenton kemudian diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya vaskularisasi. Secara perlahan obat itu juga akan mengalami difusi ke hati , otot dan jaringan lemak. Kemudian konsentrasi pada plasma akan menurun seiring dengan reedistribusi obat kedalam jaringan lemak. Kelarutan tiopenton juga bergantung dengan pH darah, semakin tinggi pH darah maka semakin terlarutnya tiopenton dan efek nya semakin efektif.

Tiopenton dipecah didalam hati dan  eksresi nya melalui urin dan feses dalam bentuk hasil metabolit. Proses pemecahan nya sangat lambat, hanya 10 - 15% tiap satu jam bahakan 30% obat masih tersisa didalam tubuh selama 24 jam, sehingga perlu penyesuaian dosis tambahan karena akan menyebabkan akumulasi obat didalam tubuh.

D. Sifat Anestesi

  1. Merupakan hipnotik yang kuat
  2. Onsetnya cepat, lancar dan tidak diikuti oleh eksitasi
  3. Pola respirasi tenang, namun bisa hipoventilas
  4. Tidak ada efek analgetik
  5. Tidak menimbulkan efek relaksasi otot
  6. pemulihan cepat namun biasanya masih ada efek mengantuk
  7. Efek samping mual dan muntah biasanya jarang dijumpai
E. Indikasi Pemakaian
  1. Induksi Anestesi
  2. Anestesia tungga misalnya operasi reposisi
  3. anti kejang
  4. Hipnotik pada ICU
F. Dosis Dan Cara Pemakaian
Buat larutan dengan menggunakan air atau NaCl 0,9% dengan konsentrasi 2,5% atau 5%. Dosis untuk induksi 4 - 5 ml / KgBB, diberikan IV pelan - pelan. Perlu modifikasi dosis pada anak - anak, orang tua, ataupun pada pasien yang mengalami malnutrisi.
Pada saat pemberian obat harus dipastikan obat tersebut masuk kedalam pembuluh darah karena apabila terjadi ekstravasasi kedalam jaringan sekitar akan menyebabkan iritasi bahkan nekrosis jaringan yang mengakibatkan nyeri. Penanggulangan jika terjadi keadaan tersebut adalah diberi anestesi lokal isobarik atau hipobarik.

G. Efek Samping

  1. Hipventilasi sampai henti nafas
  2. resiko spasme laring
  3. Depresi kardiovaskuler
  4. Nekrosis sentral hati
H. Kontraindikasi
  1. PPOK
  2. Dekom kordis
  3. Syok berat
  4. Insufisiensi adrenokortika
  5. Status asmatikus
  6. Porfiria


  • KETAMIN HIDROKLORIDA

Ketamin hidroklorida merupakan obat anestesi yang merupakan golongan fenil sikloheksilamin. Obat ini dikenal sebagai 'Rapid Acting Non Barbiturate General Anesthetic Drug' 

A. Sifat Fisik
Obat ini tidak berwarna (bening), bersifat asam dan sensitif terhadap cahaya. Kemasan obat ini (vial) berwarna coklat untuk melindungi obat ini dari paparan cahaya.

B. Kemasan 
Terdapat 3 macam jenis kemasan berupa vial yaitu 100 mg/ml, 50 mg/ml, dan 25 mg/ml. Semua kemasan tersebut mengandung 10 ml. Ketika menggunakan obat ini, terlebih dulu dibuat dalam 10 mg/ml dengan diencerkan menggunakan aquades sebagai pengencernya.

C. Efek Farmakologis
Terhadap Susunan Saraf Pusat
Obat ini memiliki efek analgetik yang kuat namun efek hipnotik nya kurang. Butuh dosis yang lebih besar untuk membuat efek hipnotiknya sempurna. Namun obat ini dapat mempunyai efek disosiatf, maksudnya adalah pasien mengalami gangguan persepsi dari rangsangan dan lingkungannya seperti pasien mengalami halusinasi dan mimpi buruk (Nightmare) pada saat pemulihan dan dapat menimbulkan kejang..
Apabila obat ini diberikan secara intravena akan dapat memberikan efek dalam waktu 30 detik. PAbila diberikan melalui intra muskular akan memberikan efek 5 - 8 menit. Pada saat pasien terinduksi, pasien dapat mengalami tanda khas pada mata berupa kelopak mata yang terbuka dan nistagmus. Sering juga terjadi gerakan gerakan anehyang tidak disadari, yaitu menelan, mengunyah, tremor, dan kejang.
Efek efek tersebut dapat di kurangi dengan pemberian diazepam sebagai sedatif atau obat lain yang dapat memberikan efek amnesia sebelum diberikan ketamin.

Terhadap Mata
Efek terhadap mata meliputi nistagmus, lakrimasi, kelopak mata terbuka secara spontan dan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh speningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

Terhadap Sistem Kardiovaskuler
Ketamin menimbulkan efek simpatomimetik, berupa inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Manifestasi yang dapat debrikan akibat pemberian ketamin, yaitu Peningkatan tekanan darah perifer, dan denyut jantung.

Terhadap Sistem Respirasi

Pada saat diberikan dengan dosisi biasa tidak akan memberikan efek pada sistem respirasi. Namun pasa dosis tertentu (lebih tinggi) dapat memberikan efek simpatomimetik sehingga dapat memberikan efek dilatasi bronchus.

Terhadap Otot
Dapat memberikan efek peningkatan tonusotot lurik (termasuk uterus), rigiditas, bahkan hingga kejang. Namun keadaan ini dapat dikurangi dengan pemberian Diazepam sebagai 'muscle relaxant'. Kontraksi otot kelopak mata membuat terbukanya kelopak mata, dan kontraksi otot- otot ekstraokuler menyebabkan nistagmus.

Terhadap refleks - refleks proteksi
Refleks proteksi jalan nafas masih utuh sehingga hati - hati dalam meberikan isapan - isapan pada daerh jalan nafas karena dapat menimbulkan spasme laring.

Terhadap Metabolisme
Ketamin merangsang sekresi dari hormon - hormon katabolime, seperti glukagon, kortisol. koterkolamin, tiroksin, dll sehingga laju katabolisme tubuh meningkat.


D. Indikasi
Pada penggunaannya ketamin sering digunaan dengan kombinasi Diazepam yang berhasiat menekan efek buruk ketamin. Indikasi penggunaan ketamin, diantaranya :
1. Induksi Anestesia
    - Bedah sesar karena efek depresi nya minimal, sebagai analgesik, dan tidak mendepresi tonus otot uterus
     - Anak - anak balita yang tidak kooperatif diberikan secara intramuskular
     - Pasien yang menderita asma, hipotensi dan syok

2. Obat Anestesi Pokok
    - Pada operasi yang letak operasinya superficial, berlangsung singkat , dan tidak memerlukan relaksasi otot maksimal, misalnya pada bidang bedah mulut

3. Analgetik pasca trauma atau pasca bedah
   Biasanya digunakan dengan kombinasi obat sedatif (Diazepam)

E. Dosis dan Cara Pemberian

  1. Untuk Induksi  -> diberikan intravena dalam bentuk larutan 1%, dengan dosis lazim 1-2 mg / Kg BB. Pada operasi sesar dosis dikurang yaitu sekitar 0,5 - 1 mg/KgBB. Pada pasien anak - anak dosis diberikan secara intramuskular dengan dosis 5-10 mg/KgBB
  2. Untuk Pemeliharaan -> diberikan intravena intermitent atau tetes kontinyu. Pada pemberian intravena intermiten diberikan tiap 10 - 15 menit dengan dosis 1/2 dari dosis awal sampai operasi selesai. Sedangkan pemberian secara infus tetes kontinyu hanya dilakukan pada pembedahan tertentu saja.
F. Efek Samping

  1. Efek disosiasi, meliputi halusinasi, mimpi buruk, gelisah, dan banjir kata-kata
  2. Pada respirasi, sering terjadi spasme laring
  3. Pada kardiovaskulat, terjadi hipetensi dan takikardi
  4. Pada endokrin, terjadi peningkatan kadar gula darah
  5. Pada otot rangka terjadi rigiditas
  6. Meningkatkan konsumsi oksigen jaringan
  7. Meningkatkan jumlah perdarahn pada luka operasi
G. Kontraindikasi
  1. Pada pasien dengan tekanan intrakranal yang meningkat, seperti pada psien pasca trauma kepala, tumor otak, dan opeerasi intrakranial lain
  2. Pada pasien denga tekanan intraokuler yang meningkat, pada pasien glaukoma, atau tekanan intraokuler yang meningkat
  3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yangsensitif terhadap obat simpatomimetik, seperti pasien hipertensi, diabetes melitus, tirotoksikosis penyakit jantung koroner,dll

  • PROPOFOL

Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso propil fenol . Propofol dikenal dengan nama dagang diprivan. 
A. Sifat Fisik Dan Kimia
Obat ini lebih larut dalam lemak dibanding pada air. Pada obat seperti ini biasanya menyebabkan pelepasan histamin dan menyebabkan reaksi anafilaktik. Oleh karena itu, propofol di formulasikan kembali dalm bentuk emulsi cair drngan minyak soyabeann dan purified egg posphatide. Obat ini bersifat asam. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul 20 ml dengan kandungan propofol 10 mg/ml

B. Efek Farmakologi
  1. Terhadap susunan saraf pusat : Untuk obat induksi obat ini bekerja cepat. Penurunan kesadaran berlangsung cepat setelah administrasi obat ini secara intravena. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kg BB), pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping, seperti mual, muntah sakit kepala, dll. Khasiat farmakologisnya merupakan hipnotis murni, tidak memiliki efek analgetik maupun relaksasi otot. Meskipun terdapat penurunan tonus otot hal tersebut diseabkan oleh efek sentralnya
  2. Sistem Respiras :Dapat menimbulkan depresi pernafasan. Dibandingkan engan tiopenton,obat ini lebih mudah memberikan efek depresi nafas
  3. Sistem Kardiovaskuler : Dapat menurunkan tekanan darah yang diikuti dengankompensasi peningkatan denyut jantung
  4. Muskuloskletal : tonusotot menurun, namun beberapa garakan masih dapat terjadi akbiat stimulasi dari tindakan operasi
  5. Gastrointestinal : insidensi mual dan muntah pasca operasi pada penggunaan obat ini sangat kecil
  6. Uterus : biasa digunakan pada operasi ginekologis tidak mempengaruhi tonus otot uterus.
  7. Hepatorenal : aliran darah pada hepar dan renal menurun akibat penurunan CO
  8. Endokrin : Terjadi penurunan hormon kortisol. Namun respon nya bisa kembali muncul pasca pemberian synacthen (ACTH anolg sintetik)
C. Farmakokinetik
Propofol terdistribusi dengan cepat. Klirens plasma dari propofol lebih cepat jika dibanding dengan klirens pada hepar. Diduga tempat metabolime propofol terdapat pada ekstrahepatik. waktu paruh eliminasi terminal dari propofol adalah 3 - 4,8 jam meskipun waktu paruh eliminasi efektif hanya 30 - 60 menit.

D. Dosis dan Administrasi
Dosis yang digunakan untuk menginduksi anestesi pada orang sehat adalah 1,5 - 2,5 mg/Kg BB. Dosis inisial masih dapat digunakan adalah 1,25 mg/KgBB. Dosis dapat ditingkatkan sebanyak 10mg. Pada anak - anak dosis nya adalah 3-3,5 mg/Kg BB. Namun obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan pad anak berusia < 1 tahun. efek kardiovaskular dapat berkurang dengan administrasi propofol secara perlahan-lahan. Sedasi yang diberikan selama anestesi regional ataupun endoskopi dapat terjadi dengan tingkat infus 1,5 - 4,5 mg/KgBB/jam

E. Efek Samping
  1. Depresi kardiovaskuler -> jika obat ini tidak diberikan secara perlahan – lahan makan akan menyebabkan kondisi ini, bahkan efek depresinya lebih berat dibanding obat golongan barbiturate
  2. Depresi respirasi -> obat ini memiliki efek depresi pernafasan lebih lazim dan lebih laa dibanding barbiturate
  3. Fenomena eksitatori -> Fenomena ini lebih lazim dibanding thiopental. Fenomana seperti myoclonus atau kejang terjadi pada fase recoveri
  4. Reaksi alergi -> ruam pada kulit dan reaksi anafilaktik
  5. Nyeri saat injeksi -> nyeri saat injeksi mencangkup 40% pada pasien yang diberikan propofol. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian lidocaine 10 ml sesaat sebelum administrasi propofol. Dapat juga dilakukan denga mencampurkan 1% lidocaine per 20ml propofol.
F. Kontraindikasi
  1. Obstruksi jalan nafas
  2. reaksi hipersensitivitas terhadap obat ini

  • FENTANYL














Merupakan obat narkotik sintetik yang paling sering atau banyak digunakan dalam praktek anestesi. Obat ini memilik potensi 1000 x lebih kuat dibanding petidin dan 50 - 100x lebih kuat dibandingkan morfin. Obat ini memiliki onset kerja yang singkat dan masa kerja yang pendek. 

A. Efek Farmakologis
  1. Terhadap susunan saraf pusat -> fentanil memiliki efek depresi susuna saraf pusat dan efek analgetik. Pada dosis tertentu kesadarn pasien akan menurun dan akan memberikan khasiat analgetik yang kuat. Namun dalam dosis yang berlebihan, akan menyepabkan depresi nafas dan kesadarn menurun sampai koma.
  2. Terhadap respirasi -> Pada dosis 1-2 microgram /kgBB dapat memberikan efek depresi pusat frekuensi nafas. Namun jika dosis diatas 3 mikrogram / KgBB dapat menimbulkan depresi frekuensi dan volume nafas.
  3. Terhadap sistem kardiovaskuler-> Tiadak mengalami perubahan
  4. Terhadap endokrin -> menekan sistem hormonal sehingga hormon katabolisme tetap stabil meskipun mendapat stres operasi
B. Metabolisme dan Eksresi 
Dimetabolisme di hati menjadi nonfentanil dan dihiroksi propionil fentanil kemudian dibuang lewat empedu dan urin

C. Kegunaan
  1. Komponen analgesia pada anestesia umum
  2. Komponen analgesia dapa analgesia neurolepti
  3. Induksi anestesia
D. Dosis
  1. untuk analgesia : 1 - 2 mkrogram / Kg BB intramuskular
  2. Untuk suplemen analgesia : 1 - 2 mikrogram / Kg BB, intravena
  3. Untuk induksi anestesia : 100 - 200 mikrogram / kgBB

Senin, 03 Februari 2014

Pemeriksaan Volume Intravaskular (Intravascular Volume Evaluation)

Evaluasi klinis cairan intravascular dapat dilakukan melalui beberapa cara, baik secara fisik, laboratorium, maupun teknik monitor hemodinamik yang canggih. Evaluasi cairan intravaskuler ini penting untuk dimonitor karena kebanyakan operasi bedah membutuhkan evaluasi terhadapa cairan, defisit elektrolit, dan kehilangan cairan tubuh. Pemeriksaan yang dilakukan dapat meliputi

  • Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien untuk mengetahui tanda tanda hipovolemia meliputi, turgor kulit, hidrasi membran mukosa, palpasi pulsasi, laju jantung, tekanan darah, perubahan orthostatic dari posisi berbaring menjadi posisi duduk atau berdiri dan urine output


Adanya pitting edema (pada presacral atau pretibial) dan peningkatan urin output, terjadi pada pasien yang mengalami hipervolemia pada pasien dengan fungsi hepar, jantung, dan renal yang normal. Tanda selanjutnya menunjukkan adanya takikardi, sianosis, pink, pulmonary crackles, wheezing, dan sekresi respirasi yang berbusa

  • Pemeriksaan Labortorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan meliputi, pemeriksaan hematokrit serial, pH darah arteri, spesifik gravity urin, osmolalitas darah, sodium dan klorida urin, sodium serum, rasio kreatinin : BUN. Pada pasien yang mengalami dehidrasi terjadi peningkatan hematokrit, asidosis metabolik yang progresid, specific gravity > 1,010, urin sodium < 10mEq/L, osmolalitas > 450 mOsm/Kg, hipernatremia, dan rasio kreatin : BUN > 10:1. Pemeriksaan laboratorium tidak secara konsisten menunjukkan terjadi hipervolemia. Hipervolemia apat dilihat dengan menggunakan pemeriksaan radiologi yaitu melalui pemeriksaan rontgen thorax, dimanan menunjukkan peningkatan vaskularisasi paru, dan tanda interstitial (Kerly "B" line) atau infiltrasi alveolar yang difus.


  • Pemeriksaan Hemodinamik
Pemeriksaan hemodinamik canggih yang dilakukan adalah Central Venous Pressure (CVP) dan Pulmonary Occlusion Artery Pressure (POAP).

  1. CVP (Central Venous Pressure) : dilakukan untuk mengetahui volume darah yang sulit untuk diperiksa atau ketika kita ingin mengetahui perubahan yang cepat atau perubahan besar yang terjadi pada volume darah. Hasil pemeriksaan CVP harus diperiksa dan diinterpretasikan dengan cepat. Nilai < 5 mmHg mengindikasikan jumlah yang normal apabila tidak disertai tanda lain dari hipovolemia. Namun perlu juga untuk mengetahui respon terhadap pemberian bolus cairan sebanyak 250 ml. Apabila setelah pemberian bolus didapatkan peningkatan yang kecil (1-2 mmHg), ini menandakan perlunya untuk menambahkan cairan untuk rehidrasi. Namun apabila terjadi peningkatan yang besar setelah pemberian bolus tersebut, maka perlu untuk memberikan cairan dengan kecepatan pemberian yang lambat dan kemudian diikuti dengan reevaluasi status volume. Apabila nilai CVP lebih besar dari 12 mmHg, ini menandakan adanya hipervolemia dengan syarat tidak ada disfungsi ventrikel dekstra, peningkatan takanan intrathorakal, ataupun penyakit perikardial yang restriktif.
  2. PAOP (Pulmonary Artey Occlusion Pressure) dilakukan ketika pemerikasaan dengan menggunakan CVP tidak memiliki korelasi dengan klinis atau ketika terjadi disfungsi ventrikel dekstra. PAOP yang kurang dari 8 mmHg menandakan hipovolemia disertai dengan kondisi klinis yang sesuai. Jika hasil PAOP lebih dari 18mmHg, ini menandakan terjadi voleme diastolik pada ventrikel kiri yang overload. Hasil dari PAOP ini dapat di pengaruhi oleh kondisi - kondisi tertentu, seperti adanya penyakit pada valvula mitral(stenosis), stenosis aorta berat, atau mixoma atau trombus arteri sinistra. Selain itu peningkatan tekanan intrathorakal juga dapat menyebabkan hasil eror, sehingga semua pengukuran tekanan (baik PAOP maupun CVP_ harus dilakukan dalam keadaan akhir ekspirasi.




Minggu, 02 Februari 2014

Syok (Shock) - definisi, patofisiologi, dan klasifikasi

Syok merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, yang terjadi ketika tubuh tidak mendapat cukup aliran darah sehingga tidak tercukupinya kebutuhan aerobik seluler atau tidak tercukupinya oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi jarngan secara global dan meyebabkan asidosis metabolik. Keadaan ini membutuhkan penanganan yang cepat karena dapet berkmbang / memburuk dengan cepat.Syok dapat terjadi meskipun tekanan darah normal dan hipotensi dapat terjadi tanpa terjadinya hipoperfusi.

Tanda khas (typical sign) syok adalah menurunnya tekanan darah, meningkatnya denyut jantung, tanda gangguan perfusi pada organ akhir, dan dekompensasi (peripheral shut-down), seperti menurunnya urin output, menurunnya kesadaran, dll

Klasifikasi
Syok dapat diglongkan menjadi 5 klasifikasi, meliputi :

  1. Syok hipovolemik (disebabkan oleh kehilagan cairan / darah)
  2. Syok kardiogenik (disebabkan oleh masalah pada jantung)
  3. Syok anafilaktik (disebabkan oleh reaksi alergi)
  4. Syok Septik (disebabkan oleh infeksi)
  5. Syok Neurogenik (disebabkan oleh kerusakan sistem saraf)
  • Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh menurunnya volume darah di sirkulasi diikuti dengan menurunnya Cardiac Output (Curah Jantung). Beberapa contoh penyebab dari syok hopovolemik, seperti pendarahan baik eksternal maupun internal, luka bakar, diare, muntah, peritonitis, dll
  • Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik digolongkan menjadi intrakardia atau ekstrakardia berdasarkan penyeba/kausa berasal, apakahdari dalam jantung atau luar jantung. Syok kardiogenik intrakardiak disebabkan karena kematian otot jantung (myocardiac infarct) atau pun terdapat sumbatan didalam jantung yang membuat curah jantung menjadi menurun. Beberapa contoh penyebab syok kardiogenik diantaranya, aritmia, AMI (Acute Myocard Infarct), VSD (Ventricular Septal Defect), Valvular lesion, CHF(Chronic Heart Disease) yang berat, Hypertrophic Cardiomyopathy. Syok kardiogenik ini terjadi ketika ventrikel gagal manejadi pompa disertai dengan menurunnya tekanan darah sistolik < 90mmHg minimal dalam waktu 30 menit, dan terjadi peningkatan tekanan kapiler pulmo yang disebabkan oleh kongesti pary, atau edema pulmo.

Syok kardiogenik ekstrakardiak disebabkan oleh adanya obstruksi pada aliran sirkuit kardiovaskular dengan karakteristik terdapat gangguan pada pengisisan diastolik ataupun adanya afterload yang berlebihan. Penyebab dari syok kardiogenik ini diantaranya, Pulmonary embolism, Cardiac temponade, Tension Penumothorax, dll

  • Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik ini terjadi akibat reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE pada sel mast dan basofil yang diakibatkan oleh antigen tertentu yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator - mediator sepagai respon imun. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, konstriksi bronkhus, ataupun dilatasi pembuluh darah lokal. Mediator yang terlepas terdiri dari primer dan sekunder. mediator primer meliputi histamin, serotonin, Eosinofil chemotactic factor dan enzim proteoitik. Sedangkan mediator sekunder meliputi PAD, bradikinin, prostagandin, dan leukotriene.

Beberapa penyebab syok anafilaktik diantaranya, insect venom, antibiotik (beta lactams, vancomycin, sulfonamide), heterologues serum (anti toxin, anti sera), latex, vaksin yang berbasis telur, tranfusi darah, immunogobulin.

  • Syok Septik
Terjadinya syok septik diawali dengan adanya infeksi pada darah yang menyebar ke seluruh tubuh. Penyebab yang sering meliputi peritonitis, pyelonefritis. Dengan adanya infeksi tersebut tubuh melakukan respon dengan terlepasnya mediator inflamasi seperti il-1, TNF, PGE2, NO, dan leukotriene yang menyebabkan berbagai kejadian berikut :
  1. relaksasi vaskular
  2. meningkatnya permeabilitas endotel (sehingga menyebabkan defisit volume intravaskular)
  3. Menurunya kontraktilitas jantung
Karakteristik tanda dan gejala dari syok septik adalah demam tinggi, vasodilatasi, meningkatanya / Cardiac Output tetap normal akibat vasodilatasi dan laju metabolime yang meningkat, serta adanya DIC yang menyebabkan pendarahan terutama di saluran cerna.

  • Syok Neurogenik
Syok neuro genik disebabkan oleh cideranya medula spinalis terutama pada segment thoracolumbal, sehingga menebabkan hilangnya tonus simpatis. Hal ini menyebabkan hilangnya tonus vasomotor, bradikardi, hipotensi. Biasanya pasien tampak sadar namun hangat dan kering akibat hipotensi.



Patofisiologi


Syok merupakan kondisi terganggunya perfusi jaringan. Terdapat beebrapa faktor yan mempengaruhi perfusi jaringan, yaitu 
  • Cardial : Cardiac Output -> volume darah yang dipompakan oleh jantung baik ventrikel kiri maupun ventrikel kanan dalam interval 1 menit. Cardiac Output dapat dihitung dengan rumus Stroke Volume x Heart rate. Sehingga cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan denyut jantung (Heart Rate )dalam satu menit. Perfusi jaringan dipengaruhi oleh cardiac output, sebagai contoh apabila Cardiac output menurun yang disebabkan oleh aritmia, atau AMI (Acute Myocard Infact) maka volume darah yang dipompa menuju seluruh tubuh pun akan menurun sehingga jaringan di seluruh tubuh pun mengalami hipoperfusi.
  • Vascular : Perubahan Resistensi Vaskular. Tonus vaskular diregulasi oleh :
    • Aktivitas tonus simpatis
    • Kotekolamin sistemik -> berperan dalam sistem saraf simpatis
    • Myogenic faktor -> berperan dalam menjaga aliran darah agar tetap konstan ketika terjadi berbagai macam faktor yang mempengaruhi perfusi
    • Substansi yang berperan sebagai vasodilator
    • Endothelial NO
  • Humoral : renin, vasopressin, prostaglandin, kinin, atrial natriuretic factor. Faktor - faktor yang mempengaruhi dalam mikrosirkulasi yaitu
    • Adanya adhesi platelet dan leukosit pada lesi intravaskuler.
    • Koagulasi intravaskuler
    • Adanya konstriksi pada pembuluh darah prekapiler dan post kapiler
    • Hipoksia -> vasodilatasi artriola -> venokonstriksi -> Kehilangan cairan intravaskuler
    • meingkatnya permeabilitas intrakapiler -> edema jaringan
Patogenesis dari syok => biasanya terjadi akibat penurunan Cardiac Output / Cardic Output yang tidak adekuat. Penurunan cardiac output disebabkan oleh adanya anormalitas pada jantung sendiri maupun akibat menurunnya venous return. Abnormalitas yang terjadi pada jantung akan menyebabkan menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat.Beberapa abnormalitas jantung diantaranya MI, aritmia, dll. Sedangkan  beberapa penyebab menurunnya venous return diantaranya, menurunya volume darah, menurunnya tonus vasomotor, terjadi obstruksi pada beberapa tempat pada sirkulasi.

Tahapan Patofisiologi
terdapat 4 stage perkembangan shock yang berlangsung secara progresif dan berkelanjutan, yaitu

  1. inisial
  2. kompensatori
  3. progresif
  4. refraktori
  • Inisial
Selama tahap ini, terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya/ tidak cukupnya oksigen untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler. Keadaan hipoksia ini menyebabkan, terjadinya fermentasi asam laktat pada sel. Hal ini terjadi karena ketika tidak adanya oksigen, maka proses masuknya piruvat pada siklus kreb menjadi menurun, sehingga terjadi penimbunan piruvat. Piruvat tersebut akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan laktat yang menyebabkan keadaan asidosis laktat.

  • Kompensatori
Pada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk mengembalikan kepada kondisi normal, meliputi neural, humoral, dan bio kimia. Asidosis yang terjadi dalam tubuh dikompensasi dengan keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam keseimbangan asam basa dengan cara mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah. Dengan demikian ketika CO2 dikeluarkan melalui hiperventilasi dapat menaikkan pH darah didalam tubuh sehingga mengkompensasi asidosis yang terjadi.

Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian pada ambang batas tertentu dideteksi oleh barosreseptor yang kemudian tubuh merespon dengan menghasilkan norepinefrin dan epnefrin. Norepinefrin berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah namun memberikan efek yang ringan pada peningkatan denyut jantung. Sedangkan epinefrin memberikan efek secara dominan pada peningkatan denyut jantung dan memberikan efek yang ringan terhadap asokonstriksi pembuluh darah. Dengan demikian kombinasi efek keduanya dapat berdampak terhadap peningkatan tekanan darah. Selain dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin angiotensi aldosteron) juga teraktivasi dan terjadi juga pelepasan hormon vasopressor atau ADH (anti diuretic hormon) yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah dan mempertahankan cairan didalam tubuh dengan cara menurunkan urine output.

  • Progresif
Ketika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan mengalami tahap progresif dan mekanisme kompensasi mulai  mengalai kegagalan. Pada stadium ini, Asidosis metabolik semakin prah, otot polos pada pembuluh darah mengalami relaksasi sehingga terjadi penimbunan darah dalam pembuluh darah. Ha ini mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang mengakibatkan bocornya cairan ke dalam jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi dan viscositas darah menjadi meningkat dan dapat terjadi penyumbatan dala aliran darah sehingga berakibat terjadinya kematian banyak jaringan. Jika organ pencernaan juga mengalami nekrosis, dapat menyebabkan masuknya bakteri kedalam aliran darah yang kemudian dapat memperparah komplikasi yaitu syok endotoxic.

  • Refraktori
Pada stadium ini terjadi kegagalan organ untuk berfungsi dan shock menjadi ireversibel. Kematian otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena ATP sudah banyak didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan oksigen dalam sel. Adenosin yang terbentuk mudah keluar dari sel dan menyebabkan vasodilatasi kapiler. Adenosin selanjutnya di transformasi menjadi asam urat yang kemudian di eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada adenosin yang dapat difosforilasi menjadi ATP.



Sabtu, 01 Februari 2014

Syok Hipovolemik (Hypovolemic Shock)

Syok Hipovolemik merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh atau darah yang menyebabkan jantung tidak mampu memompakan cukup darah ke seluruh tubuh sehingga perfusi jaringan tubuh menjadi terganggu. Keadaan ini bersifat emergensi dan dapat menyebabkan seluruh organ gagal berfungsi dan lebih parah lagi, dapat menimbulkan kematian organ. Hipovolemia berbeda dengan dehidrasi, dimanapada hipovolemia biasanya terjadi penurunan sodium dalam darah, sedangkan pada dehidrasi tidak.

Kehilangan cairan tubuh hingga mencapai 1/5 dari total cairan tubuh dapat menebabkan syok hypovolemik. Kehilangan cairan tubuh tersebut dapat disebabkan oleh
  • Kehilangan darah (seperti perdarahan interna maupun eksterna)
  • Kehilangan plasma (seperti terbakar, luka bakar)
  • Kehilangan sodium dan cairan intravaskular (seperti keringat berlebih, diare, atau muntah)
  • Dilatasi (pelebaran) pembuluh darah (akibat cidera pada saraf yang mengontrol pembuluh darah sehingga menyebabkan pembuluh darah mengalami dilatasi, obat - obatan yang menyebabkan vasodilatasi [pelebaran pembuluh darah] seperti antihipertensi)
Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala syok hipovolemik tidak akan muncul sampai sesorang mengalami kehilangan cairan tubuh atau darah hingga 10-20%. Apabila terjadi syok hipovolemia, tanda dan gejala yang akan muncul yaitu terjadi takikardi (denyut jantung menjadi cepat), menurunnya tekanan darah, dan terjadi gangguan perfusi jaringan sehingga pasien tampak pucat dan terjadi penurunan capilary refill (pengisisan kapiler) pada jidat, kuku, dan bibir. Pasien juga dapat merasakan pusing, mual, lemas, dan merasa sangat haus. Semua tanda - tanda-tanda tersebut dapat muncul pada kebanyakat tipe syok.

Berbeda dengan orang dewasa, tekanan darah pada anak - anak ketika terjadi syok hipovolemia, akan tertap normal untuk mempertahankan suplai atau perfusi jaringan sehingga sering kurang diperhatikan Namun apabila telah mngalami tahap dekompensasi, tekanan darah nya akan menurun secara cepat.Oleh karena itu, ketika terjadi pendarahan internal (pendarahan yang terjadi di dalam tubuh) pada anak-anak, harus segera ditangani meskipun tidak tampak tanda - tanda syok pada umum nya (tekanan darah yang menurun).

Ketika terjadi perdarahan pada pasien, ingat tanda - tanda pasien yang dapat mengalami syok hipovolemia akibat perdarahan, yaitu "blood on the floor, plus 4 more = intrathoracic, intraperitoneal, retroperitoneal, pelvis/thigh" (darah pada lantai, tambah 4 lebih = intratorakik, intraperitoneal, retroperitoneal, pelvis/paha). tanda - tanda pendarahan internal dapat dilihat dari mekanisme cidera (trauma yang yang bisa menyebabkan cidera pada organ dalam), dan tanda tanda Gray Turner's sign atau Cillen's sign.

Gray Turner's sign (gambar 1)merupakan memar berwarna kebiruan yang terdapat pada daerah pinggang. Tanda ini biasa terapat pada keadaan serangan akut pankreatitis disertai pendarahan retroperitoneal. Tanda ini muncul selama 24 - 48 jam. Gray turner'sign ini biasanya juga disertai dengan Cullen's sign (gambar 2). Cullen's sign merupakan edema  dan memar superfisial pada jaringan lemak disekitar umbilikus.

Hemorrhagic pancreatitis - Grey Turner's sign.jpg
Gambar 1 - Gray Turner's sign

Cullen's sign.jpg
Gambar 2 - Cullen's sign



Stage Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik dibagi menjadi 4 tingkatan. Empat tingkatan ini dikanal juga dengan 'Tenis's Shock Hypovolemic Shock". Hal ini dikarenakan 4 tingkatan dari persentase kehilangan darah pada stage ini mirip dengan skor pada olah raga tenis, yaitu 15, 15-30, 30-40, 40.


Stage 1
Stage 2
Stage 3 (Classic sign)
Stage 4
% Kehilangan volume darah
<15% volume total (750 ml)
15% - 30% volume total (750 – 1500 ml)
30% - 40% volume total (1500 – 2000 ml)
>40% volume total (>2000 ml)
Cardiac Output
Normal terkompensasi oleh konstriksi pembuluh darah
Tidak mampu dikompensasi oleh konstriksi pembuluh darah
Tidak mampu dikompensasi oleh konstriksi pembuluh darah
Tidak mampu dikompensasi oleh konstriksi pembuluh darah
Tekanan darah
Normal
TD sistolik normal namun diastolic meningkat sehingga gap antara sistolik dan diastolic (pulse pressure) menurun.
TD sistolik menurun <100 mmHg
Menurun hingga < 70 mmHg
Laju nafas
Normal
Meningkat namun < 30 x/menit
Takipnea jelas (>30 x /menit)
Takipnea jelas (>30 x /menit)
Nadi
Normal
Takikardi (>100x/menit)
Takikardia jelas (>120 x / menit)
Takikardia (>130 x/ menit) dengan pulsasi yang lemah
Kulit
Kulit mulai pucat
Pucat, dingin karena alian darah menuju ke organ vital
Berkeringat, dingin dan pucat
Berkeringat, dingin, dan sangat pucat
Status Mental
Normal hingga sedikit tampak cemas/ gelisah
Gelisah ringan (restless)
Bingung, cemas, agitasi
Penurunan kesadaran, lethargy, coma
Pengisian Kapiler
normal
Delayed (Waktu pengisian kapiler memanjang)
Delayed
absent
Urine Output
normal
Menurun (20-30 ml / jam)
20 ml /jam
Sangat menurun hingga absent-Tidak berarti

Manajemen & Terapi

  • First Aid
Ketika terdapat pasien yang menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemia, tindakan pertama adalah sesegera mungkin mencari bantuan medis. Sementara menunggu bantuan medis datang, lakukan hal hal berikut :
  1. Buat pasien merasa nyaman dan hangat (untuk mencegah terjadinya hipotermia)
  2. Pastikan bahwa tidak ada permasalahan pada ABC (Airway, Breathing, and Circulation)
  3. Apabila tampak akadanya pendarahan eksternal, maka lakukan penekanan secara langsung pada lokasi perdarahan. Apabila hal tersebut gagal lakukan penekanan secara tidak langsung atau pun dengan cara memberikan torniquet.
  4. Baringkan pasien dalam posisi datar dengan kak ditinggikan 45 derajat untuk mempertahankan sirkulasi. Apabila terdapat cidera pada kepala, leher, tungkai bawah, seperti fraktur, maka jangan berusaha untuk digerakkan sebelum sudah terfiksasi dengan baik kecuali apabila pasien dalam keadaan darurat
  5. Jika terjadi reaksi alergi, tangani reaksi alergi terebut
Hospitalisasi bertujuan untuk mengani cairan atau darah yang hilang ketika terjadi syok.

  • Field Care
Pada perawatan di lapangan atau saat transportasi menuju ke rumah sakit, berikan oxygen kepada pasien untuk mempertahan splai oksigen ke jaringan. Terapi cairan intravena seperti pemberian Ringer Lactat dapat mengkompensasi kehilangan darah pada pasien, namuncairan intravena tidak mengangkut darah pada pasien, sehingga tetap lebih baik untuk mendapatkan tranfusi darah.

Selain itu juga, dilakukan metode "Permissive Hypotension" terutama pada pasien trauma, yaitu melakukan terapi cairan secara restriktif sehingga tekanan darah sistolik miningkat tanpa mencapai normotensif (tekanan darah normal), dengan tujuan untuk mencegah terlarutnya faktor pembekuan secara berlebihan.

  • Hospital Care
Ketika pasien dirumah sakit, dilakukan beberapa pemeriksaan meliputi :

  1. Daah rutin, Kimia darah
  2. Central venous Line/ Tekanan Darah
  3. Analisis Gas darah (AGD)
  4. Pengukuran urin output melalui kateter
  5. Saturasi Oksigen
Selanjutnya dilakukan intervensi sebagai berikut :
  1. Pasang Oksigen sesuai kebutuhan
  2. Pasang jalur IV untuk bisa dilakukan resusitasi cairan. Cairan Kristaloid bermanfaat jika diberikan pada stage 2 syok hipovolemik dan dibutuhkan pada stage 3 dan 4. Pemberian transfusi darah diindikasikan jika Hb < 10
  3. Pembedahan pada tempat pendarahan
  4. Terapi inotropik (dopamin, dan noradrenalin)

Prognosis
Syok hipovolemik merupakan kondisi gawat darurat. Prognosis nya bergantung dari :
  • Jumlah darah / cairan yang hilang
  • Laju hilang nya darah/ cairan
  • Penyakit atau cidera yang menyebabkan kehilangan darah
  • penyakit yang menyertai, seperti diabetes, penyakit jantung, paru-paru, dan ginjal
Komplikasi dari kondisi ini meliput :
  1. Kerusakan Ginjal
  2. Kerusakan Otak
  3. Gangren pada lengan atau tungkai hingga amputasi
  4. Serangan Jantung
  5. Syok yang berat dapat berujung pada kematian